Judul : Negeri 5 Menara
Pengarang : A. Fuadi
Tahun : 2009
Harga Buku : Rp50.000,00


Novel Negeri 5 Menara merupakan buku pertama dari sebuah trilogi yang ditulis oleh A. Fuadi seorang mantan wartawan Tempo dan VOA. Dalam novel ini diceritakanlah seorang anak yang baru lulus dari madrasah tsanawiyah dan berencana untuk melanjutkan pendidikannya ke jalur pendidikan non agama. Namanya Alif Fikri, ia tinggal di daerah di desa terpencil di Minangkabau, Sumatera.

Sebagai seorang siswa, ia adalah seorang siswa yang berprestasi, karenanya ia yakin bisa diterima jika mendaftar di SMA di Bukit Tinggi, bersama Randai, sahabatnya di madrasah. Sayangnya, harapannya ini harus pupus karena Amaknya, yang seorang pengajar, menginginkan ia untuk melanjutkan sekolah di jalur agama, lebih tepatnya disebuah pondokan di Sumatera, dengan alasan untuk memperbaiki kulitas para pemuka agama. Lebih-lebih beliau mengidolakan Hamka yang merupakan salah satu tokoh agama yang berasal dari tanah Minang.

Alif kesal dan merajuk selama berhari-hari. Pada saat itulah sebuah surat datang dari Pak Etek Gindo, pamannya yang sedang menuntut ilmu di Mesir. Dalam suratnya, Pak Etek menyebut-nyebut tentang Pondok Madani (selanjutnya disingkat PM), sebuah Pesantren di daerah Jawa Timur, bahwa lulusan dari PM banyak yang pintar-pintar.

Akhirnya, dengan setengah hati dalam kekesalannya untuk membalas Amaknya, Alif mau untuk masuk Pondokan, tapi tidak mau di Sumatera, ia memilih untuk jauh dari keluarga saja sekalian. Di PM, Jawa Timur. Amaknya setuju.

Alif pun kemudian menuntut ilmu di PM dan mulai merasakan kehidupan pondokan. Disana ia menemukan empat orang sahabat baru yaitu Baso, Raja, Said dan Dulmajid. Mereka semua berasal dari berbagai daerah. Saat di PM mereka menyebut diri mereka Sahibul Menara. Bersama-sama mereka merasakan kehidupan di pondok dalam kebersamaan. PM sebagai pondokan modern menghadirkan suatu atmosfir yang baru bagi mereka, kampung diatas awan, tempat untuk menuntut ilmu. Cerita pada saat di PM ini lah yang tak boleh dilewatkan (walaupun tidak saya tuliskan disini, anda harus membacanya sendiri :D).

Pendapat saya saat pertama kali membaca buku ini: wah, keren juga. Sebab secara seklias, saya melihat buku ini seperti gabungan antara Harry Potter (kehidupan asramanya), Laskar Pelangi (persahabatannya) dan novel2 Abdurrahman el Shirazy (atmosfer keislamannya).

Tapi kemudian setelah membaca lebih jauh pemikiran seperti itu saya hapuskan. Saya pikir tidak adil jika saya menyamakan novel ini dengan novel lain, sebab novel ini memiliki ciri khasnya sendiri. Pada akhirnya saya merasakan bahwa 'ini adalah novel negeri 5 menara' dengan kelebihannya sendiri.

Dalam novel ini, saya suka membaca cara A.Fuadi bercerita. Fuadi menggunakan sudut pandang orang pertama pelaku utama, penulis sebagai bagian dari cerita, sehingga cerita terasa seakan akan mengalir. Kita jadi dapat merasakan perasan Alif pada saat ia kesal dengan Amaknya, atau kekagumannya pada PM saat pertama kali tiba ditempat itu, dan ketakutan sahibul menara dengan Tyson, si penjaga keamanan PM.

Semua itu dituliskannya dengan alur campuran, sebab novel diawali dengan Alif yang sudah dewasa, yang tiba-tiba terusik masa lalunya ketika tiba-tiba messengernya berbunyi, salah seorang dari anggota sahibul menara--Atang--mengontaknya. Kemudian setelah itu barulah Alif teringat dengan masa lalunya, yaitu tahun pertamanya di PM.

Konflik dalam novel ini adalah kegalauan hati Alif setiap kali surat-surat Randai datang. Berkali-kali surat Randai yang menceritakan kehidupan tentang kehidupan SMA yang tak bisa didapatkannya membuatnya meragukan keputusannya untuk meneruskan sekolah di PM. Salah satu alasannya adalah PM tidak memberikan ijazah apapun sehingga akan agak sulit untuk masuk ke perguruan tinggi di Indonesia yang memerlukan ijazah SMA.

Sebagai pembaca, saya juga ikut terbawa emosi ketika Alif sukses berjuang untuk bisa bicara dengan Sarah, anak dari Ustadz Khalid. Tidak, tidak bercerita tentang kedekatan yang berbau seperti 'itu', karena bagi anak-anak PM, bisa melihat wajahnya saja sudah merupakan suatu hal yang langka, mengingat mereka tinggal di pondokan yang peraturannya ketat.

Cerita-cerita dalam novel ini menarik dan menghibur, juga memberikan pelajaran-pelajaran pada kita sebab disertai dengan berbagai hadist dan kata-kata mutiara yang merupakan hal yang biasa dan di amalkan di PM.

Mungkin salah satu alasan novel ini terasa hidup adalah karena novel ini terinspirasi dari kisah nyata, sehingga tidak ditemukan detail-detail yang janggal tentang pondokan. Ini membuktikan bahwa penulis memang mengenal sekali dengan kehidupan pondokan, yang pernah menjadi kehidupannya sendiri (beliau salah satu lulusan PonPes Gontor). Ini bisa membuka mata kita tentang kehidupan pesantren yang selama ini kurang akrab bagi kita.

Masih banyak kelebihan dari novel ini yang sayangnya tidak bisa saya tuliskan lebih lanjut (agak tertekan nih, karena merasa bersalah untuk menyempatkan diri membuat tulisan seperti ditengah-tengah persiapan ujian nasional). Yang pasti, novel ini adalah salah satu bacaan yang sayang untuk dilewatkan.

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda